2.3.1. MATERI KULIAH
2.3.1.1. Membaca Materi Kuliah
Keanekaragaman Hayati dan Klasifikasi Organisme
Mahluk hidup sangat beragam, tetapi dalam pertanian kita hanya membudidayakan jenis-jenis tertentu tumbuhan (plants) dari berbagai jenis tumbuhan yang ada, yang kita sebut sebagai tanaman (crops). Dalam membudidayakan jenis-jenis tumbuhan tertentu yang kita sebut sebagai tanaman tersebut, jenis-jenis tumbuhan lain yang bersaing dengan tanaman kita sebut sebagai gulma dan beraneka jenis hewan yang mengganggu, merusak, dan atau mematikan tanaman kita sebut sebagai hama dan berbagai jenis mikroba yang melakukan hal yang sama terhadap tanaman kita sebut sebagai patogen penyebab penyakit. Seluruh tumbuhan, hewan, dan mikroba yang mengganggu, merusak, dan/atau mematikan tanaman kita sebut sebagai organisme pengganggu tumbuhan (OPT). OPT menjadi mengganggu, merusak, dan/atau mematikan tanaman karena untuk kelangsungan hidupnya organisme berinteraksi dengan organisme lainnya. Di alam, interaksi untuk kelangsungan hidup organisme dikenal sebagai rantai makanan dan jejaring makanan. Dalam bercocok tanam, organisme yang dalam interaksinya dengan tanaman menimbulkan kerugian kita kategorikan secara subjektif sebagai OPT.
Sebagaimana halnya tanaman yang dapat diganggu, dirusak, dan/atau dimatikan oleh OPT, OPT juga dapat diganggu, dirusak, dan/atau dimatikan oleh organisme lain. Berbagai organisme lain yang dapat mengganggu, merusak, dan/atau mematikan OPT yang terdapat secara alami bersama tanaman kita sebut musuh alami (natural enemies), sedangkan yang kita kembangbiakkan dan kemudian lepaskan atau yang kita konservasi keberadaannya bersama tanaman kita sebut agen pengendalian hayati (biological control agents). Seluruh jenis tumbuhan (tanaman dan gulma), OPT golongan hama dan OPT golongan patogen, serta musuh alami dan agen pengendali hayati yang terdapat bersama dalam satu hamparan lahan pertanaman merupakan keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity), dalam hal ini keragaman jenis (species diversity) dan keanekaragaman genetik (genetic diversity). Setiap hamparan lahan pertanian mempunyai keanekaragaman jenis dan keanekaragaman genetik yang berbeda dengan hamparan lahan lain di sekitarnya. Keanekaragaman jenis dan keanekaragaman genetik di dalam dan antar ekosistem membentuk ekanekaragaman ekosistem (ecosystem diversity). Untuk ekosistem pertanian, keanekaragaman ekosistem dikenal sebagai keanekaragaman hayati pertanian (agricultural biodiversity).
Berbagai jenis organisme saling berinteraksi satu sama lain dalam suatu ekosistem, terutama dalam hal memperoleh makanan melalui rantai makanan. Interaksi antar jenis organisme dalam memperoleh makanan melalui rantai makanan tersebut dikenal sebagai interaksi trofik (trophiic interaction). Interaksi yang melibatkan tanaman, hama, dan musuh alami merupakan interaksi tiga trofik (tritrophic interaction) sebagaimana yang terjadi dalam interaksi yang melibatkan predator dan parasitoid, OPT golongan hama, dan tanaman. Namun sebagaimana halnya rantai makanan berubah menjadi jejaring makanan seiring dengan betambahnya jenis organisme yang terlibat maka interaksi trofik juga menjadi semakin kompleks sehingga dikenal sebagai interaksi multitrofik (multitrophik interacction). Interaksi multitrofik melibatkan hiperpredasi, hiperparasitasi, kompetisi, komensalisme, dan antagonisme, sebagaimana terjadi dalam penggunaan mikroba dalam pengendalian hayati OPT golongan hama, OPT golongan patogen, dan OPT golongan gulma.
Pengendalian hayati yang dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis organisme untuk mengendalikan berbagai jenis hama pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan keanekaragaman hayati, khususnya keankeragaman hayati pertanian. Mengingat tanaman, OPT, musuh alami, dan agen pengendali hayati begitu beragam maka untuk mempelajari kita perlu mengenali keanekaragamannya, terutama keanekaragaman jenisnya. Untuk mengenali keanekaragaman jenis tersebut kita perlu memahami klasifikasi organisme (biological classification), yaitu penggolongan organisme ke dalam kelompok tertentu secara berperingkat. Kita memang sudah pernah belajar mengenai klasifikasi organisme, mungkin sejak SD atau sejak SMP, tetapi karena klasifikasi organisme merupakan cabang ilmu maka selalu berubah. Perubahan terjadi dalam cara pengelompokan, cara menentukan percabangan, dan cara memberikan nama terhadap kelompok yang terbentuk dari percabangan. Perubahan ini menyebabkan klasifikasi organisme saat ini, yang dikenal sebagai klasifikasi modern, menjadi sangat berbeda dari klasifikasi organisme yang pernah kita pelajari sebelumnya, yang merupakan sistem klasifikasi konvensional.
Kelompok organisme dalam sistem klasifikasi konvensional, yang disebut satuan taksonomik taxonomic unit), didasarkan pada ciri-ciri morfologis dengan hubungan antar kelompok yang membentuk percabangan yang tidak didasarkan pada hubungan dengan tetua yang sama. Percabangan ke dalam satuan taksonomik yang berbeda terjadi pada peringkat takson (taxonomic rank): kerajaan bercabang menjadi sejumlah filum/divisi, filum/divisi bercabang menjadi sejumlah kelas, kelas bercabang bercabang menjadi sejumlah ordo, ordo bercabang menjadi sejumlah famili, famili bercabang menjadi sejumlah genus, dan genus bercabang menjadi sejumlah jenis (spesies), setiap peringkat dengan nama yang mengikuti aturan tata nama (nomenclature) tertentu. Dalam percabangan seperti ini, organisme yang tergabung dalam satu kelompok belum tentu mempunyai tetua yang sama. Hal ini berbeda dengan pengelompokkan organisme dalam sistem klasifikasi modern, yang mempertimbangkan tetua yang sama dalam pengelompokannya dan percabangan yang tidak hanya terjadi berdasarkan peringkat taksonomik.
Pengelompokan organisme dalam sistem klasifikasi modern mempertimbangkan tetua yang sama (most recent common ancestor, MRCA) dan oleh karena itu organisme dalam satu kelommpok merupakan organisme seketurunan (common desent), sebagaimana dalam silsilah keluarga kita. Percabangan tidak terbatas pada peringkat taksonomik sebagaimana percabangan kerajaan menjadi sejumlah filum/divisi, percabangan filum/divisi menjadi sejumlah kelas, dan seterusnya, melainkan terjadi berdasarkan hubungan tetua. Pengelompokan berdasarkan hubungan tetua disebut klad (clade), sedangkan percabangan yang dihasilkan dari pengelompokkan tersebut dikenal sebagai kladogram (cladogram), sebagaimana halnya silsilah keluarga yang juga merupakan kladogram. Hanya saja silsilah keluarga biasanya digambarkan dengan menempatkan tetua paling tua pada bagian atas kladogram, sedangkan kladogram organisme biasanya digambarkan dengan menempatkan tetua tertua pada bagian bawah atau bagian samping kiri kladogram. Pengelompokkan berdasarkan hubungan kekerabatan yang mencakup satu tetua disebut monofiletik (monophyletic), yang tidak mencakup seluruh keturunan dari tetua yang sama disebut parafiletik (paraphyletic), dan yang melibatkan keturunan dari tetua yang berbeda disebut polifiletik (polyphyletic) (Gambar 2.3.1). Silsilah keluarga berdasarkan hubungan kelahiran merupakan contoh pengelompokan secara monofiletik, sedangkan silsilah yang memasukkan hubungan berdasarkan perkawinan merupakan contoh pengelompokan polifiketik. Jika satu rumpun keluarga tidak mengakui salah satu keturunannya sebagai keluarga maka rumpun keluarga seperti itu merupakan contoh pengelompokan parafiletik.
Mengingat klasifikasi didasarkan pada hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan didasarkan pada DNA, dan keberadaan DNA dalam sel dapat di dalam inti sel yang berdinding inti (eukaryotic) atau tidak berdinding inti (prokaryotic) maka sistem klasifikasi modern dilakukan dengan membedakan organisme eukaryotik dan organisme prokrayotik. Untuk mempelajari klasifikasi organisme eukaryotik silahkan membaca artikel oleh Adl et al. (2019), sedangkan untuk mempelajari klasifikasi organisme prokaryotik seilahkan baca artikel oleh Ruggiero et al. (2015). Pengelompokkan organisme musuh alami dalam mata kuliah ini dilakukan berdasarkan klasifikasi organisme menjadi enam kerajaan (kingdom) menurut Cavalier-Smith (1998) dan Cavalier-Smith (2004), dengan memperhatikan sistem klasifikasi menurut Adl et al. (2019) untuk organisme eukaryotik dan sistem klasifikasi menurut Ruggiero et al. (2015) untuk organisme prokaryotik. Hubungan antara sistem klasifikasi enam kerajaan dengan sistem klasifikasi kerajaan, kekaisaran (empire), domain, dan kemaharajaan (superkingdom) adalah sebagaimana pada Gambar 2.3.2.
![]() |
Gambar 2.3.2. Hubungan antara sistem klasifikasi enam kerajaan dengan sistem klasifikasi kerajaan, kekaisaran, domain, dan kemaharajaan. Silahkan klik untuk memperbesar. Sistem klasifikasi: 2 kerajaan menurut Linnaeus (1735), 3 kerajaan menurut Haeckel (1866), 2 kekaisaran menurut Chatton (1925), 2 kekaisaran dan 4 kerajaan menurut Copeland (1938), 3 kekaisaran dan 5 kerajaan menurut Whittaker (1969), 2 kekaisaran dan 6 kerajaan menurut Woese et al. (1977), 3 domain menurut Woese et al (1880), 3 kemaharajaan dan 8 kerajaan menurut Cavalier-Smith (1993), 2 kekaisaran dan 6 kerajaan menurut Cavalier-Smith (1998), dan 2 kemaharajaan dan 7 kerajaan menurut Ruggiero et al. (2015). Klik gambar untuk memperbesar. |
Gambar 2.3.3. Klasifikasi organisme menjadi dua kekaisaran dan enam kerajaan menurut Cavalier-Smith (1998). Klik gambar untuk memperbesar. |
Tipe dan Mekanisme Kerja Interaksi Antar Organisme
Musuh alami berinteraksi dengan OPT sasarannya dengan berbagai cara atau mekanisme. Penggolongan musuh alami berdasarkan cara atau mekanisme musuh alami berinteraksi dengan OPT sasarannya menghasilkan tipe interaksi antara musuh alami dengan OPT sasarannya. Interaksi yang terjadi sebenarnya lebih kompleks, tetapi dapat disederhanakan menjadi tipe sebagai berikut:
- Predasi: interaksi hayati antara satu organisme, disebut predator atau pemangsa, yang membunuh dan memakan organisme lainnya, disebut mangsa (prey). Dalam interaksi predasi terjadi proses mencari (search), menilai (asses), mendapatkan (pursue) dengan cara mengejar, mengendap-endap, atau menyergap, dan menangani (handle) dengan cara membunuh, membongkar, dan memakan, yang masing-masing memerlukan waktu dan energi. Predasi merupakan interaksi hayati yang berlangsung dalam pengendalian hayati OPT golongan hewan dengan menggunakan organisme golongan hewan lain.
- Parasitasi: interaksi hayati antara satu organisme, disebut parasit, yang menggunakan organisme lainnya, disebut inang (host), sebagai sumber makanan selama hidupnya, tanpa mematikan jaringan inangnya. Parasitasi mencakup tiga kasus khusus, yaitu (1) parasitasi oleh parasit sejati, (2) parasitasi oleh parasitoid, dan (3) parasitasi oleh patogen. Parasitasi oleh parasit sejati: interaksi hayati antara satu organisme, disebut parasit sejati, yang menggunakan inang sebagai sumber makanan selama hidupnya, tanpa terelbih dahulu mematikan jaringan tertentu dan tanpa membunuh inangnya. Parasitasi oleh parasitoid: interaksi hayati antara satu organisme, disebut parasitoid, yang menggunakan inang sebagai sumber makanan bagi fase tertentu dalam daur hidupnya, sedangkan hase lainnya hidup bebas. Parasitisme oleh patogen non-parasitik: interaksi hayati antara satu organisme, disebut patogen non-parasitik, yang menggunakan inang sebagai sumber makanan selama hidupnya, dengan terelbih dahulu mematikan jaringan tertentu tanpa membunuh inangnya. Parasitasi oleh parasitoid merupakan interaksi hayati yang berlangsung dalam pengendalian hayati OPT golongan hewan dengan menggunakan organisme golongan hewan lain, sedangkan parasitasi oleh parasit sejati dan oleh patogen merupakan interaksi hayati yang berlangsung dalam pengendalian hayati OPT golongan hewan dengan menggunakan mikroba parasitik dan patogenik tertentu dan dalam pengendalian hayati OPT golongan patogen tanaman dengan menggunakan mikroba parasitik dan mikroba patogenik tertentu lainnya.
- Herbivori: interaksi hayati antara satu organisme, disebut herbivor, yang dalam melangsungkan hidupnya menggunakan tumbuhan sebagai sumber makanannya. Kasus khusus herbivori adalah memakan gulma (weed feeding): interaksi hayati antara satu organisme, disebut pemakan gulma (weed feeders), yang dalam melangsungkan hidupnya menggunakan tumbuhan yang dikategorikan sebagai gulma sebagai sumber makanannya. Kasus khusus interaksi herbivori terhadap gulma merupakan interaksi hayati yang berlangsung dalam pengendalian gulma, baik oleh herbivor golongan hewan maupun oleh parasit sejati dan parasit patogenik.
- Kompetisi: interaksi hayati antara satu organisme, disebut pesaing (competitor), yang dalam memperoleh sumberdaya hayatinya saling berebut dengan organisme lain, yaitu organisme pesaing lainnya. Kasus khusus kompetisi adalah interaksi antagonistik: interaksi hayati antara satu organisme, disebut pesaing antagonistik, yang dalam memperoleh sumberdaya hayatinya menggunakan cara-cara tertentu untuk mengalahkan organisme lain, yaitu organisme lain yang disaingi secara antagonistik. Kasus interaksi antagonistik adalah interaksi antibiosis: interaksi hayati antara satu organisme, disebut pesaing antagonistik antibiosis, yang dalam memperoleh sumberdaya hayatinya menggunakan senyawa kimia yang dihasilkannya untuk mengalahkan organisme lain, yaitu organisme lain yang disaingi secara antagonistik antibiosis.
Tipe-tipe interaksi yang terjadi antara musuh alami dan OPT akan menekan pertumbuhan populasi OPT. Namun tekanan penutunan populasi OPT oleh musuh alami terjadi tidak hanya melibatkan interaksi langsung (direct interaktion), melainkan juga interaksi tidak langsung (indirect interaction). Interaksi langsung merupakan yang tidak melibatkan spesies lain sebagai penghubung, menimbulkan pengaruh langsung (direct effect), misalnya pengaruh konsumtif (consumptive effect), yaitu pengaruh mematikan oleh konsumen terhadap mangsanya atau inangnya. Interaksi tidak langsung merupakan interaksi antara dua spesies yang melibatkan spesies lain sebagai penghubung (melibatkan satu atau lebih tautan dalam rantai interaksi), menimbulkan akibat yang disebut pengaruh tidak langsung (indirect effect), misalnya pengaruh non-konsumtif (non-consumptive effect), yaitu penaruh tidak mematikan yang ditimbulkan oleh konsumen karena perubahan perilaku atau karakteristik mangsa atau inangnya sebagai tanggapan terhadap kehadiran konsumen. Interaksi tidak langsung menimbulkan pengaruh tirai (cascade effects), yang didefinisikan sebagai interaksi tidak langsung yang berasal dari konsumen yang diteruskan keseluruh taraf trofik di bawahnya dalam jejaring makanan (Gambar 2.3.4).
![]() |
Gambar 2.3.4. Pengaruh tirai musuh alami berbagai jenis musuh alami dalam menekan pertumbuhan populasi hama penggerek buah kapas Helicoverpa armigera. Sumber: Kaplan (2012). Klik gambar untuk memperbesar. |
Taraf trofik merupakan posisi suatu spesies organisme dalam rantai makanan atau jejaring makanan, misalnya posisi tanaman sebagai autotrof (autotroph), posisi hama dan patogen debagai konsumen primer (primary consumer), dan posisi musuh alami sebagai konsumen sekunder (secondary consummer), dan posisi pemakan musuh alami sebagai konsumen tersier (tertiary consumer). Pada seriap taraf trofik, organisme yang dikonsumsi sebagai makanan oleh organisme lain berperan sebagai sumberdaya biotik (biotic resources), Interaksi mengkonsumsi-dikonsumsi dapat atau tidak dapat diteruskan ke taraf trofik ay bawah atau di atasnya. Jika dalam interaksi mengkonsumsi-dikonsumsi ternyata konsumsi oleh kosumen membatasi pertumbuhan populasi organisme yang dikonsumsi maka terjadi gaya atas-bawah (top-down forces), sedangkan dalam interaksi mengkonsumsi-dikonsumsi ternyata yang dikonsumsi membatasi pertumbuhan populasi konsumennya maka terjadi gaya bawah-atas (bottom-up forces). Jika dalam interaksi mengkonsumsi-dikonsumsi ternyata pengaruh tirai tidak diteruskan ke taraf trofik lebih bawah karena terjadi secara berputar dalam interaksi utama maka terjadi gaya pukul-putar (knock-on forces). Jika dalam interaksi mengkonsumsi-dikonsumsi ternyata mengakibatkan meningkatnya populasi konsumen pada bagian tengah rantai makanan atau jejaring makanan karena hilangnya konsumen puncak dalam rantai makanan atau jejaring makanan maka terjadi pelepasan meso-predator (meso-predator release).
Dalam pengaruh tirai sebagaimana digambarkan pada Gambar 3.1.2, serangan hama penggerek buah kapas Helicoverpa armigera menimbulkan gaya atas-bawah yang menyebabkan tanaman kapas membentuk senyawa volatil yang dapat memediasi musuh musuh alami untuk memangsa penggerek buah sehingga tanaman kapas mempunyai gaya bawah-atas untuk "memanggil" musuh alami menyerang penggerek buah. Silahkan tentukan organisme mana yang berperan sebagai produsen primer, konsumen primer, konsumen sekunder, dan konsumen tersier, serta sumberdaya biotik masing-masing. Tentukan pula mana yang merupakan interaksi langsung dan interaksi tidak langsung serta apa dampak masing-masing, organisme mana yang berada pada taraf trofik yang sama dan mana yang berada pada taraf trofik berbeda. Apakah dapat menemukan satu spesies organisme dapat menempati lebih dari satu taraf trofik?
Interaksi sebagaimana disajikan pada Gambar 3.1.2 mencakup hanya penggunaan predator, parasitoid, dan pemakan gulma untuk mengendalikanOPT golongan hewan. Penggunaan mikroba untuk mengendalikan OPT golongan hewan, OPT golongan patogen, dan OPT golongan gulma menggunakan tipe interaksi yang bukan hanya dalam kaitan dengan makan memakan, melainkan juga interaksi kompetisi dengan OPT untuk memperoleh ruang dan hara, interaksi komensalisme dengan tanaman untuk memberikan perlindungan kepada tanaman dari gangguan oleh OPT, serta interaksi lain yang melibatkan produksi atau skresi senyawa kimia oleh agen hayati untuk mematikan dan/atau menekan pertumbuhan individu dan populasi OPT. Tipe interaksi antara predator dan parasitoid dengan OPT golongan hewan dan antara pemakan gulma dengan OPT golongan guma akan dibahas lebih lanjut pada materi kuliah 3.2, sedangkan interaksi antara musuh alami golongan mikroba dengan OPT golongan patogen dan OPT golongan gulma akan diuraikan lebih lanjut pada materi kuliah 3.3.
Strategi Pelaksanaan Pengendalian Hayati
Materi kuliah 2.1 dan materi kuliah 2.2 telah menguraikan bahwa pengendalian hayati bukan merupakan proses individu musuh alami mengkonsumsi individu OPT sasaran, melainkan proses dinamika interaksi antara populasi musuh alami dan populasi OPT sasaran. Jika mengikuti kuliah untuk belajar, Anda akan bertanya apa yang perlu dilakukan agar populasi musuh alami dapat mengendalikan populasi OPT sasaran? Apakah karena dikonsumsi maka populasi OPT sasaran dapat musnah sehingga dengan demikian permasalahn OPT dapat teratasi? Apa yang terjadi dengan populasi musuh alami jika populasi OPT sasaran sangat rendah atau bahkan musnah? Membaca uraian mengenai strategi pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hayati diharapkan dapat memberikan jawaban sebagian terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, sedangkan uraian mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan pengendalian hayati dan uraian beberapa contoh mengenai pengendalian yang berhasil dan pengendalian hayati yang gagal dapat memberikan jawaban sebagian lainnya. Untuk mendapatkan jawaban, tentu saja Anda perlu membaca uraian materi kuliah dengan berpikir, bukan membaca untuk mendapat hiduran yang menarik.
Strategi pengendalian hayati (biological control strategies) berkaitan dengan apa yang dilakukan dan bagimana melakukan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang telah diputuskan untuk dilakukan. Misalkan dari mari membaca materi kuliah 2.1 dan materi kuliah 2.2, Anda berpikir perlu meningkatkan populasi musuh alami. Meningkatkan populasi merupakan hal yang berkaitan dengan apa yang perlu dilakukan. Setelah menjawab bahwa perlu meningkatkan populasi musuh alami, bagaimana memperoleh musuh alami dan setelah memperoleh bagaimana melepasnya merupakan hal yang berkaitan dengan pertanyaan bagaimana melakukan. Menurut Eilenberg et al. (2001), apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya atau yang dalam kaitan dengan pengendalian hayati dikenal sebagai strategi pengendalian hayati terdiri atas:
- Pengendalian hayati klasik (classical biological control): pelepasan secara sengaja musuh alami yang diintroduksi dari luar dengan harapan dapat menekan padat populasi OPT sasaran dalam jangka panjang dan permanen bukan oleh individu-individu populasi yang dilepaskan melainkan oleh individu-individu populasi keturunannya setelah musuh alami berkembang biak dan menjadi mapan. Berdasarkan pada asal OPT dan asal musuh alami, pengendalian hayati klasik dibedakan menjadi: (1) pengendalian hayati klasik asli (original classical biological control) jika baik musuh alami maupun OPT berasal dari luar, keduanya pada lokasi yang sama, (2) pengendalian hayati klasik asosiasi baru (new association classical biological control) atau pengendalian hayati neoklasik (neoclassical biological control) bila musuh alami berasal dari luar dan OPT merupakan OPT setempat atau bila musuh alami dan OPT barasal dari luar tetapi pada lokasi yang berbeda. Strategi pengendalian hayati klasik juga secara kurang tepat disebut importasi (importation), tetapi strategi pengendalian hayati inundatif dan pengendalian hayati inokultaif juga dapat melibatkan importasi. Contoh: pengendalian hayati pertama yang berhasil, yaitu pelepasan kumbang kubah kardinal [nama ilmiah semula Vedalia cardinalis Mulsant, 1850, nama ilmiah diterima Rodolia cardinalis (Mulsant, 1850), tetapi karena pada 2020 marga Rodolia ditetapkan sebagai sinonim bagi marga baru Novius maka nama ilmiah yang seharusnya diterima adalah Novius cardinalis (Mulsant, 1850)] yang diimpor dari Australia untuk mengendalikan kutu sisik Icerya purchasi Maskell (Homoptera: Margarodidae) pada tanaman jeruk di California, Amerika Serikat, pada akhir 1800-an
- Pengendalian hayati inundatif (inundative biological control): pelepasan secara sengaja musuh alami dengan harapan dapat menekan populasi OPT sasaran dalam jangka pendek oleh individu-individu populasi musuh alami yang dilepaskan tanpa perlu berkembang biak menjadi mapan. Contoh: pelepasan sejumlah besar spora bakteri Bacillus thuringiensis dalam pengendalian serangga hama dan pelepasan sejumlah besar konidia jamur Metarhizium anisopliae (Metschn.) Sorokin var. acridum Driver and Milner (nama diterima Metarhizium acridum (Driver & Milner) J.F. Bisch., Rehner & Humber (2009)) untuk mengendalikan belalang di Sahel, sebelah selatan Gurun Sahara, Afrika
- Pengendalian hayati inokulatif (inoculative biological control): pelepasan secara sengaja musuh alami dengan harapan dapat menekan populasi OPT sasaran dalam jangka panjang tetapi tidak secara permanen oleh individu-individu populasi yang dilepaskan maupun keturunannya jika musuh alami dapat berkembang biak. Contoh: pelepasan tawon parasitoid Encarsia formosa Gahan (Hymenoptera: Aphelinidae) dan musuh alami lainnya yang sekarang lazim dilakukan untuk mengendalikan hama pada tanaman dalam rumah kaca.
- Pengendalian hayati konservasi (conservation of natural enemies): melindungi musuh alami dan meningkatkan perananan musuh alami dan organisme lainnya yang sudah melalui modifikasi lingkungan atau meningkatkan praktik sudah dilakukan dengan harapan dapat menekan populasi OPT sasaran dalam jangka pendek atau jangka panjang. Pengelolaan habitat (habitat management) yang yang dilakukan dengan melakukan intervensi terhadap habitat untuk menyediakan sumberdaya yang diperlukan oleh musuh alami merupakan bagian dari strategi pengendalian hayati konservasi. melalui mekanisme keanekaragaman hayati secara tepat, ketersediaan sumber makanan alternatif, ketersediaan tempat bersarang dan kondisi iklim mikro, dan ketersediaan mangsa atau inang alternatif dengan cara: memilih jenis tanaman yang ditumpangsarikan, memahami perilaku musuh alami, pengendalian skala dan pengaturan sistem pertanaman dalam hamparan dan antar hamparan, dan kehati-hatian dalam menambah keanekaragaman hayati. Contoh: penanaman labu kuning dan kacang nasi/kacang tunggak dalam budidaya jagung secara salome ('satu lobang rame-rame') untuk menyediakan sumberdaya dan tempat berlindung bagi musuh alami hama dan memberikan pengaruh menekan pertumbuhan populasi gulma pada awal dan menjelang akhir pertumbuhan tanaman jagung dalam budidaya tebas bakar di Pulau Timor.
Perhatikan bahwa istilah musuh alami merupakan istilah yang digunakan ketika organisme belum digunakan secara segaja untuk mengendalikan OPT. Istilah yang digunakan setelah organisme digunakan dengan melepaskan secara sengaja untuk pengendalian hayati dikenal sebagai agen pengendalian hayati. Dalam hal ini, apa yang digunakan sama, tetapi cara menggunakannya berbeda. Misalnya di habitat aslinya di Amerika Tropis, Curinus coeruleus adalah musuh alami kutu loncat lamtoro Heteropsylla cubana, tetapi setelah diintroduksi secara sengaja untuk mengendalikan kutu locat lamtoro di belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia, Curinus coeruleus merupakan agen pengendalian hayati (Gambar 2.3.5). Strategi pengendalian hayati inundatif dan pengendalian hayati inokulatif secara bersama-sama disebut pengendalian hayati augmantatif karena keduanya dilakukan dengan melepas musuh alami secara sengaja dengan harapan agar populasi musuh alami bertambah, baik ketika musuh alami belum ada maupun sudah ada secara alami, agar musuh alami yang belum ada menjadi ada dan yang sudah ada populasinya bertambah agar dapat menekan populasi OPT sasaran secara efektif. Pengendalian hayati augmentatif diperlukan ketika musuh alami tidak ada, ketika popuasi musuh alami terlambat dalam menurunkan populasi OPT sasaran untuk mencegah kerusakan, atau ketika musuh alami yang sudah ada secara alami populasinya terlalu rendah untuk dapat menekan populasi OPT sasaran secara efektif.
Istilah pelepasan (release) mempunyai arti yang berbeda dalam pengendalian hayati dan dalam ekologi populasi dan ekologi komunitas. Dalam pengendalian hayati, pelepasan berarti menempatkan musuh alami di lokasi tertentu dengan tujuan untuk menjadi agen pengendalian hayati yang diharapkan dapat menurunkan (menekan) padat populasi hama. Dalam ekologi populasi dan ekologi komunitas pelepasan berarti terlepasnya populasi organisme tertentu dari tekanan pengendalian alami oleh populasi predator, parasitoid, parasit, kompetitor, antagonis, atau herbivor. Mengingat perbedaan pengertian ini maka ketika membaca istilah pelepasan perlu diperhatikan konteks penggunaan istilah tersebut.
Faktor-faktor yang Berkontribusi terhadap Pengendalian Hayati
Sebagaimana telah dipelajari dalam mata kuliah ilmu hama dan penyakit tumbuhan, perkembangan populasi suatu organisme menjadi berstatus sebagai hama atau patogen dipengaruhi oleh faktor kemampuan organisme yang bersangkutan untuk merusak tanaman, ketersediiaan tanaman yang dapat dirusak, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman maupun pertumbuhan populasi hama atau patogen. Serupa dengan perkembangan populasi suatu organisme menjadi berstatus sebagai hama, pertumbuhan populasi organisme predator, parasitoid, patogen, dan pemakan gulma menjadi bertstus sebagai musuh alami yang efektif juga dipengaruhi oleh beberapa faktor:
- Faktor musuh alami: berbagai faktor yang menentukan kemampuan organisme sebagai musuh alami yang efektif;
- Faktor OPT sasaran: berbagai faktor yang menentukan OPT sesuai untuk dikendalikan secara hayati; dan
- Faktor lingkungan: berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kemampuan musuh alami atau kesesuaian OPT sasaran untuk dikendalikan secara hayati.
Sebagaimana halnya ketiga faktor yang menentukan status suatu organisme pemakan tanaman sebagai OPT yang saling berkaitan satu sama lain dalam bentuk segitiga hama, ketiga faktor yang menentukan keberhasilan suatu organisme sebagai musuh alami atau agen hayati juga saling berkaitan satu sama lain.
Faktor musuh alami yang menentukan keberhasilannya dalam menekan pertumbuhan populasi OPT antara lain adalah sebagai berikut:
- Potensi reproduksi tinggi dengan generasi yang saling tumpang tindih;
- Kemampuan tinggi dalam mencari dan menemukan OPT sasaran serta menghindar dari predasi dan parasitasi oleh organisme lain;
- Lemampuan menangani mangsa atau inang dalam waktu singkat;
- Mampu mempredasi, memparasitasi, menyaingi OPT secara efisien;
- Mampu bertahan dalam keadaan populasi OPT yang rendah;
- Mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi lingkungan.
Faktor OPT sasaran yang sesuai untuk dikendalikan secara hayati dengan menggunakan musuh alami antara lain adalah sebagai berikut:
- Jumlah fase dalam daur hidup organisme OPT yang merusak tanaman, apakah hanya satu fase seperti misalnya hanya fase larva atau dua fase seperti fase nimfa dan fase imago;
- Mobilitas fase dalam daur hidup OPT yang merusak tanaman, apakah fase yang merusak tanaman merupakan fase yang tidak bergerak sehingga dapat ditemukan dan ditangkap dengan mudah oleh musuh alami atau fase yang dapat bergerak cepat sehingga dapat mengindar dari kejaran musuh alami;
- Kisaran inang OPT sasaran yang merusak tanaman, apakah OPT sasaran merupakan OPT monofag, oligofag, atau polifag;
- Perilaku OPT dalam menghadapi tekanan musuh alami, apakah OPT dapat mengembangkan kemampuan untuk mengindar atau kemampuan untuk melawan;
- Status OPT sebagai OPT yang berasal di lokasi setempat (lokal) atau dari luar (introduksi).
Faktor lingkungan terdiri atas lingkungan fiofisik, lingkungan hayati, dan lingkungan praktik budidaya tanaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi musuh alami maupun pertumbuhan populasi OPT:
- Faktor lingkungan biofisik: mencakup faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan, angin, dsb., yang mempengaruhi pertumbuhan populasi OPT dan pertumbuhan populasi musuh alami secara bebas kepadatan serta faktor tanah yang menentukan kesuburan tanaman yang mempengaruhi pertumbuhan populasi OPT, keduanya secara bergantung kepadatan;
- Faktor lingkungan hayati: mencakup keberadaan predator, parasitoid, patogen, kompetitor, dan antagonis terhadap musuh alami, yang dapat menimbulkan pengaruh tirai (cascade effect);
- Faktor lingkungan praktik budidaya tanaman: mencakup mekanisme keanekaragaman hayati secara tepat, ketersediaan sumber makanan alternatif, ketersediaan tempat bersarang dan kondisi iklim mikro, dan ketersediaan mangsa atau inang alternatif sebagaimana sudah disebutkan di atas.
Faktor musuh alami, OPT sasaran, dan lingkungan yang saling berkaitan menentukan keberhasilan atau kegagalan pengendalian hayati. Berikut adalah contoh pengendalian hayati yang berhasil, masing-masing mewakili strategi pengendalian hayati:
- Pengendalian hayati kutu sisik berbantalan seperti kapas (cottony-cushion scale) Icherya purchasi Maskell, 1879 (Margarodidae: Hemiptera) menggunakan kumbang kubah kardinal Rodolia cardinalis (Mulsant, 1850) [nama terbaru Novius cardinalis (Mulsant, 1850)]
(Coccinellidae: Coleoptera) dan lalat parasitoid Cryptochetum iceryae (Williston, 1888) (), merupakan contoh pengendalian hayati klasik yang berhasil pertama kali. Kumbang kubah mempredasi kutu sisik pada fase telur, nimfa, dan dewasa, sedangkan lalat parasitoid memparasit pada fase nimfa. Kutu sisik berbantalan seperti kapas masuk secara tidak sengaja dari Australia ke California, Amerika Serikat, pada 1868 dan hampir menghancurkan industri jeruk di sana sejak 1887. Kutu sisik ini mempunyai kisaran inang yang luas dan mempunyai banyak musuh alami di tempat asalnya. Pada 1888 dilakukan introduksi kumbang kubah kardinal ke Amerika Serikat disusul dengan introduksi lalat parasitoid. Sejak masuk secara sengaja ke California, kutu sisik berbantalan seperti kapas telah menyebar luas ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, dan terakhir menyebar ke belahan dunia beriklim lebih dingin, termasuk ke Perancis dan Inggris, tetapi tidak lagi merusak separah yang terjadi di California karena peranan pengendalian hayati. Kumbang kubah kardinal berhasil memberikan pengendalian di wilayah yang lebih panas, sedangkan lalat parasitoid di wilayah yang lebih sejuk. - Pengendalian hayati hama tanaman dalam rumah kaca menggunakan tawon parasitoid Encarsia formosa, tawon parasitoid berukuran kurang dari 1 mm yang memparasit nimfa instar-instar akhir pada 15 spesies kutu putih, terutama Bemisia tabaci (Gennadius, 1889) (Aleyrodidae: Hemiptera) dan Aleyrodes proletella (Linnaeus, 1758) (Aleyrodidae: Hemiptera) pada tanaman tomat dan mentimun, merupakan contoh pengendalian hayati inokulatif yang berhasil, digunakan sejak 1920-an tetapi karena penggunaan insektisida, hampir tidak digunakan pada 1940-an dan kemudian kembali meningkat lagi penggunaannya sejak 1970-an. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan baca artikel: Biology and use of the whitefly parasitoid Encarsia formosa.
- Pengendalian hayati belalang (grasshoppers) dan belalang kembara (locusts) di Afrika melalui kerjasama LUBILOSA (Lutte Biologique contre les Locustes et les Sauteriaux, pengendalian hayati belalang kembara dan belalang) dalam empat fase sejak 1990 sampai 2002, merupakan contoh pengembangan pengendalian hayati inundatif yang berhasil melalui pengembangan spora jamur entomopatogen menjadi biopestisida (biopesticide), khususnya pestidida mikrobial (microbial pesticides). LUBILOSA berhasil mengisolasi isolat jamur yang semula diidentifikasi dengan nama Metarhizium flavoviride W. Gams & Rozsypal (1973), kemudian dengan nama Metarhizium anisopliae var. acridum Driver & Milner (2000), dan dengan nama saat ini Metarhizium acridum (Driver & Milner) J.F. Bisch., S.A. Rehner & Humber 2009. Spora isolat virulen jamur ini yang diformulasikan dalam minyak ternyata berhasil mengendalikan belalang kembara gurun (Schistocerca gregaria (Forskål, 1775)), belalang kembara coklat (Locustana pardalina (Walker, 1870)), belalang padi afrika (Hieroglyphus daganensis Krauss, 1877), belalang variegata (Zonocerus variegatus (Linnaeus, 1758)) di kawasan hutan, serta belalang kembara senegal (Oedaleus senegalensis (Krauss, 1877)) dan belalang kembara pohon (Anacridium melanorhodon (Walker, 1870)) di kawasan Sahel Afrika. Formulasi isolat spora dalam minyak tersebut dikomersialkan dengan nama dagang Green Muscle. Untuk informasi lebih rinci, silahkan baca artikel: Development of Metarhizium spp. For the control of grasshoppers and locusts. Pengembangan isolat lain jamur Metarhizium acridum oleh CSIRO, Australia, yang dilakukan dengan dukungan the Australian Plague Locust Commission, menghasilkan merek dagang Green Guard dalam formulasi minyak jagung, effektif mengendalikan belalang kembara, termasuk belalang kembara asia Locusta migratoria subsp. tibetensis Chen, 1963, yang sebelumnya dikenal dengan nama Locusta migratoria subsp. manilensis (Meyen, 1835). Untuk informasi lebih lanjut, silahkan baca artikel: Different Effects of Metarhizium anisopliae Strains IMI330189 and IBC200614 on Enzymes Activities and Hemocytes of Locusta migratoria L.
- Pengendalian gulma Chromolaena odorata (L.) R.M.King & H.Rob. menggunakan ngengat pemakan daun Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros, 1956 dan lalat puru Cecidochares connexa (Macquart, 1848) di Indonesia, termasuk di NTT, merupakan contoh pengendalian hayati gulma yang cukup berhasil. Pengendalian hayati Chromolaena odorata pertama kali diusulkan oleh the Comnnonwealth Institute of Biological Control (CIBC) pada pertengahan 1960-an, didanai oleh the Nigerian Institute for Oil Palm Research pada 1966-1972 untuk melakukan eksplorasi di Trinidad, dan kemudian di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Setelah melalui uji kisaran inang, berhasil mengidentifikasi 4 spesies untuk uji pelepasan: (1) ngengat pemakan daun Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros, 1956 (Erebidae: Lepidoptera), (2) kumbang bubuk pemakan biji Apion brunneonigrum Béguin-Billecocq (Brentidae: Coleoptera), (3) ngengat penggerek pucuk Mescinia parvula Zeller, 1881 (Pyralidae: Lepidoptera), dan (4) tungau Acalitus odoratus Keifer, 1970 (Eriophyidae: Trombidiformes). Musuh alami yang diintroduksi dan dilaporkan mapan (established) di Afrika Selatan adalah: (1) Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros (Lepidoptera: Arctiidae), (2) Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae), (3) Actinote thalia pyrrha (Fabr.) dan Actinote anteas (Doubleday & Hewitson) (Lepidoptera: Nymphalidae), (4) Acalitus adoratus Keifer (Acari: Eriophyidae), dan (5) Calycomyza eupatorivora Spencer (Diptera: Agromyzidae), silahkan juga periksa daftar lengkap musuh alami yang pernah dilepas di berbagai belahan dunia dan status keberhasilannya. Pada 1993, setelah melalui uji karantina, ACIAR melakukan uji pelepasan ngengat pemakan daun di Indonesia, termasuk di wilayah NTT. Ngengat tersebut berhasil mapan dan menyebar di Sumatera, tetapi tidak di NTT. Selanjutnya lalat puru asal Amerika Selatan, yang sebelumnya diidentifikasi salah sebagai Procecidochares connexa tetapi yang benar adalah Cecidochares connexa (Macquart, 1848) (Gambar 2.3.6), setelah melalui uji kisaran inang, dilepaskan, berhasil mapan dan menyebar di seluruh Indonesia, termasuk di NTT, tetapi tidak berhasil mengendalikan populasi Chromolalena odorata. Untuk membahas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengendalian hayati Chromolaena odorata telah dilaksanakan lokakarya internasional mulai pada1988, silahkan unduh proseeding lokakarya I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai keberhasilan dan kegagalan pengendalian hayati Chromolaena odorata, silahkan baca: Biological Control of Chromolaena odorata: Successes and Failures.
Uraian mengenai contoh pengendalian hayati yang berhasil dan faktor-factor yang berkontribusi terhadap keberhasilannya masih dalam penyusunan, silahkan baca: Successes in Biological Control, A successful example of biological control and its explanation, Success Stories in Biological Control: Lessons Learnt, What makes a successful biocontrol agent? A meta-analysis of biological control agent performance, Theoretical contributions to biological control success, Top 10 tips to achieve a successful biological pest control programme, dan The prickly pear story.
Pengendalian hayati tidak selalu berhasil, bahkan bukan hanya tidak berhasil tetapi juga menimbulkan dampak yang merusak. Contoh pengendalian hayati yang gagal dan menimbulkan dampak yang merusak adalah sebagai berikut:
- Pengendalian hama pada tanaman terbu, terutama kumbang Batocera frenchi Van de Poll, 1886 dan Dermolepida albohirtum (C.O.Waterhouse, 1875), di Autralia dengan mengimpor kodok raksasa Rhinella marina (Linnaeus, 1758) dari Hawaii pada 1935, setelah sebelumnya kodok raksasa yang berasal benua Amerika daratan bagian tengah sampai bagian Utara dan tengah Amerika Selatan. diintroduksi sebelum 1840 ke Martinique dan Barbados dari Guiana Perancis dan Guyana dan kemudian ke Jamaica pada 1844 untuk mengendalikan tikus tetapi gagal. Meskpun demikian, kembali diintroduksi ke Puerto Rico pada awal abad ke-20 untuk dan berhasil mengendalikan hama pada tanaman tebu, sehingga mendorong introduksi ke berbagai pusat produksi tebu dunia, termasuk ke Hawaii dan dari sana ke Australia. Namun ternyata di berbagai negara lain, kodok raksasa gagal mengendalikan hama pada tanaman tebu terutama karena tidak tahan pada kondisi lahan terbuka dan tidak mampu melompat tinggi untuk menangkap hama pada batang dan pucuk tebu setelah tanaman tebu tumbuh tinggi sehingga mengancak keanekaragaman hayati lokal karena beralih memangsa spesies lokal dan dengan racun pada kulitnya membunuh berbagai predator lokal yang mencoba memangsanya, berubah statusnya menjadi spesies invasif.
- Pengendalian hama kutu daun menggunakan kumbang kubah Harmonia axyridis (Pallas, 1773) yang diintroduksi dari Asia ke Amerika pada 1916, dan setelah berhasil mengendalikan kutu daun di sana kemudian diintroduksi ke berbagai negara lainnya, tetapi kemudian ternyata menjadi invasih sehingga mengancam keanekaragaman hayati lokal. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penyebaran kumbang kubah ini secara global sehingga menjadi invasif silahkan baca Bridgehead effect in the worldwide invasion of the biocontrol harlequin ladybird.
Untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pengendalian hayati yang gagal, silahkan baca: Biological Control Gone Bad! Story of the Cane Toad, Why were cane toads an ineffective biocontrol in Australia?, Why biological control fails, Successful Invasions and Failed Biocontrol: The Role of Antagonistic Species Interactions, Behaviour drives contemporary evolution in a failing insect-parasitoid importation biological control programme, What Can We Learn From Biological Control Failures?, dan Biological Control of Invasive Species: Solution or Pollution?
Materi kuliah yang Anda baca ini hanyalah semacam panduan mengenai bagaimana seharusnya Anda mempelajari materi kuliah ini. Untuk mempelajari materi kuliah ini lebih lanjut, Anda perlu membaca:
Buku Teks:
- Hajek, A. E. (2004) Natural Enemie: An Introduction to Biological Control. Cambridge University Press, Chapter 3 Classical biological control, Chapter 4 Augmentation: inundative and inoculative biological control, dan Chapter 5 Conservation and enhancement of natural enemies
- Waterhause, D, F. (1994). Biological Control of Weeds: Southeast Asian Prospects.
- Winston, R.L., Schwarzländer, M., Hinz, H.L., Day, M.D., Cock, M.J.W., & Julien, M.H. (eds.) (2014). Biological Control of Weeds: A World Catalogue of Agents and Their Target Weeds, 5th edition. USDA Forest Service, Forest Health Technology Enterprise Team, Morgantown, West Virginia, kunjungi situs.
Websites:
- Approaches to the Biological Control of Insect Pests dari The Connecticut Agricultural Experiment Station
- Biological Control: Approaches and Applications dari Radcliffe's IPM World Textbook
- Desirable Attributes of Natural Enemies dalam tulisan Scope Of Biological Control dari situs My Agriculture Information Bank
- What Is a Trophic Cascade? Definition and Ecological Impact dari Treehugger'
- Natural Enemy Gallery dari UC IPM
- What is a Trophic Cascade?
Silahkan mengklik halaman Pustaka Kuliah untuk mengakses dan mengunduh buku teks, mengakses perpustakaan daring dan mengunduh buku teks gratis, mengakses websites, dan mengakses artikel jurnal ilmiah.
2.3.1.3. Mengerjakan Kuis
Setelah membaca materi kuliah dan pustaka luliah, setiap mahasiswa wajib mengerjakan quis secara mandiri dengan mengklik tautan sebagai berikut:
- Mengerjakan dan Memasukkan Lembar Jawaban Kuis selambat-lambatnya pada Minggu, 6 Oktober 2024 pukul 24.00 WITA
- Memeriksa untuk memastikan bahwa Lembar Jawaban Kuis sudah masuk
Mahasiswa yang tidak mengerjakan kuis tidak akan memperoleh nilai untuk setiap kuis yang tidak dikerjakan.
2.3.2. TUGAS/PROJEK KULIAH
Setelah membaca materi kuliah, silahkan bagikan materi kuliah melalui media sosial yang dimiliki disertai dengan mencantumkan status tertentu, misalnya "Saya sekarang baru tahu ternyata statistika terapan itu menyenangkan ... dst." Untuk membagikan lauar klik tombol Beranda dan kemudian klik tombol pembagian memalui media sosial dengan mengklik tombol media sosial yang tertera di sebelah kanan judul materi kuliah. Jika media sosial yang dimiliki tidak tersedia dalam ikon yang ditampilkan, klik ikon paling kanan untuk membuka ikon media sosial lainnya. Materi kuliah dibagikan paling lambat pada Minggu, 6 Oktober 2024 pukul 24.00 WITA dengan cara menjawab pertanyaan pada laporan melaksanakan kuliah.
Setelah membaca materi kuliah, silahkan buat minimal satu pertanyaan dan atau komentar mengenai materi kuliah. Buat pertanyaan secara langsung tanpa perlu didahului dengan selamat pagi, selamat siang, dsb., sebab belum tentu akan dibaca pada jam sesuai dengan ucapan selamat yang diberikan. Ketik pertanyaan atau komentar secara singkat tetapi jelas, misalnya "Mohon menjelaskan apa manfaat mempelajari statistika terapan". Pertanyaan dan/atau komentar diharapkan ditanggapi oleh mahasiswa lainnya dan setiap mahasiswa wajib menanggapi minimal satu pertanyaan dan/atau komentar yang disampaikan oleh mahasiswa lainnya. Pertanyaan dan/atau komentar maupun tanggapannya disampaikan paling lambat pada Minggu, 6 Oktober 2024 pukul 24.00 WITA dengan cara menjawab pertanyaan pada laporan melaksanakan kuliah.
2.3.2.3. Mengerjakan Tugas/Projek Kuliah
Silahkan memilih lokasi tegakan Chromolaena odorata dengan batang atau cabang berpuru di satu lokasi terdekat untuk mengerjakan tugas projek kuliah secara kelompok sesuai dengan DAFTAR KELOMPOK MAHASISWA. Sebelum mengerjakan tugas, silahkan terlebih dahulu baca aertikel jurnal ilmiah Pengaruh lokasi terhadap serangan lalat puru Cecidochares connexa (Macquart) pada tumbuhan eksotik invasif Chromolaena odorata (L.) King & Robinson dan interaksinya dengan komunitas serangga lokal dan kunjungi situs Biological Control: Chromolaena odorata dan setelah selesai membaca halaman dilanjutkan dengan mengklik tautan Chromolaena odorata. Setelah mengenal seperti apa gulma Chromolaena odorata dan lalat puru Cecidochares connexa, lakukan pengamatan secara kelompok dengan pembagian tugas sebagai berikut:
- Kelompok 1: melakukan pengamatan perkembangan jumlah puru yang disebabkan oleh lalat puru Cecidochares connexa (Macquart, 1848) pada gulma Chromolaena odorata, silahkan buat satu garis transek sepanjang 30 meter pada pada setiap 3 meter untuk melakukan pengamatan bersama ketiga kelompok, kelompok 1 melakukan pengamatan untuk menghitung jumlah puru yang terdapat pada satu rumpun gulma Chromolaena odorata pada batang dan cabang yang masih hidup maupun sudah mati.
- Kelompok 2: melakukan pengamatan populasi larva dan imago lalat puru Cecidochares connexa (Macquart, 1848) pada gulma Chromolaena odorata, silahkan buat satu garis transek sepanjang 30 meter pada pada setiap 3 meter untuk melakukan pengamatan bersama ketiga kelompok, kelompok 2 melakukan pengamatan jumlah larva yang terdapat pada puru hidup dengan mengambil 3 puru secara acak pada setiap rumpun Chomolaena odorata yang telah ditetapkan sebagai rumpun sampel untuk pengamatan kelompok 1, lakukan juga pengamatan terhadap imago yang dapat dilihat sejauh mata memandang ke sebelah kanan dan kiri jalur transek.
- Kelompok 3: melakukan pengamatan jumlah cabang di atas puru yang disebabkan lalat puru Cecidochares connexa (Macquart, 1848) pada gulma Chromolaena odorata, silahkan buat satu garis transek sepanjang 30 meter pada pada setiap 3 meter untuk melakukan pengamatan bersama ketiga kelompok, kelompok 3 melakukan pengamatan jumlah cabang yang terdapat di sebelah atas puru hidup maupun puru mati, dengan mengambil 3 puru secara acak pada setiap rumpun Chomolaena odorata yang telah ditetapkan sebagai rumpun sampel untuk pengamatan kelompok 1 dan kelompok 2, dengan ketentuan hanya menghitung jumlah cabang pada satu puru yang di bagian atasnya tidak terdapat puru.
- Kelompok 4: melakukan pengamatan panjang cabang di atas puru yang disebabkan lalat puru Cecidochares connexa (Macquart, 1848) pada gulma Chromolaena odorata, silahkan buat satu garis transek sepanjang 30 meter pada pada setiap 3 meter untuk melakukan pengamatan bersama keempat kelompok, kelompok 4 melakukan pengamatan panjang cabang yang terdapat di sebelah atas puru hidup maupun puru mati, dengan mengambil 3 puru secara acak pada setiap rumpun Chomolaena odorata yang telah ditetapkan sebagai rumpun sampel untuk pengamatan kelompok 1, kelompok 2, dan kelompok 3, dengan ketentuan hanya menghitung panjang tiga cabang sampel yang diambil secara acak jika terdapat lebih dari tiga cabang pada satu puru yang di bagian atasnya tidak terdapat puru.
Ketua tingkat mberperan sebagai koordinator ketiga kelompok dan dalam setiap kelompok, orang pertama bertindak sebagai ketua kelompok. Untuk melaksanakan projek kuliah, silahkan lakukan:
- Membuat satu garis transek secara bersama ketiga kelompok menggunakan tali rafia yang diberi simpul setiap 3 m sebanyak 10 simpul dengan menyisakan 3 meter sebelum simpul pertama dan 3 m sebelum simpul terakhir untuk mengikatkan pada patok setinggi 2 meter. Silahkan foto tali transek dan patok yang sudah dibuat.
- Mencari lokasi tegakan gulma Chromolaena oodorata yang cukup luas dan homogen sehingga memungkinkan membuat garis trasek sepanjang 30 m, sebaiknya cari pada arah ke Baumata atau arah ke Baun, minta ijin kepada pemilik lahan untuk melakukan pengamatan. Pasang patok pada salah satu tepi tegakan dan satu patok lainnya pada tepi yang berseberangan, lalu sesuaikan ketinggian tali transek dengan ketinggian gulma Chromolaena odorata. Usahakan agar kedua patok dapat berdiri kokoh dengan menggali tanah terlebih dahulu. Silahkan unggah foto garis transek yang membentang pada tegakan Chromolaena odorata.
- Ukur koordinat LS dan koordinat BT setiap patok dengan menggunakan aplikasi GPS Data dari Exa Tools yang dipasang pada ponsel melalui Google Play Store dan terlebih dahulu diatur untuk mengukur koordinat dalam format derajat desimal dengan mengklik tiga titik pada sudut kiri atas layar dan memilih Setting>Coordinat>pilih decimal degrees.
- Melakukan pengamatan terhadap peubah (variable) sesuai dengan yang ditugaskan kepada setiap kelompok dan memasukkan data hasil pengamatan dengan menggunakan file lembar pengamatan setelah menambahkan kelompok pada nama file,
- Melakukan pengambilan foto terhadap peubah yang pengamatannya ditugaskan kepada setiap kelompok.
Catat hasil wawancara dan pengamatan untuk disampaikan sebagai bagian dari Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas materi kuliah 3.1 ini selambat-lambatnya pada Minggu, 6 Oktober 2024 pukul 24.00 WITA. Tugas ini akan dilakukan berturut-turut selama tiga kali, masing-masing sebagai bagian dari materi kuliah 3.1, materi kuliah 3.2, dan materi kuliah 3.3. Laporan tugas projek mempunyai bobot 80% terhadap nilai tugas dalam nilai akhir semester.
2.3.3. ADMINISTRASI KULIAH
Untuk membuktikan telah melaksanakan kuliahi, Anda wajib mengakses, menandatangani presensi, dan mengumpulkan tugas di situs SIADIKNONA. Sebagai cadangan, silahkan juga mengerjakan quiz, menandatangani daftar hadir, dan memasukkan laporan melaksanakan kuliah dan mengerjakan tugas dengan mengklik tautan di bawah ini.
- Menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah selambat-lambatnya pada Selasa, 1 Oktober 2024 pukul 24.00 WITA dan setelah menandatangani, silahkan periksa daftar hadir yang telah ditandatangani;
- Menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Projek selambat-lambatnya pada Minggu, 6 Oktober 2024 pukul 24.00 WITA dan setelah menyampaikan, silahkan periksa untuk memastikan bahwa laporan sudah masuk.
Mahasiswa yang tidak mengisi dan memasukkan Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah dan Laporan Melaksanakan Kuliah akan ditetapkan sebagai tidak melaksanakan kuliah.
**********
Hak cipta blog dan isi blog pada: I Wayan Mudita
Dipublikasikan pertama kali: 8 September 2023.
Dipublikasikan pertama kali: 8 September 2023.
Hak cipta selurun tulisan pada blog ini dilindungi berdasarkan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Silahkan mengutip tulisan dengan merujuk sesuai dengan ketentuan perujukan akademik.
mengapa strategi pengendalian hayati inundatif dan pengendalian hayati inokulatif secara bersama-sama disebut pengendalian hayati augmantatif
BalasHapusPengendalian hayati augmentatif mencakup dua strategi utama, yaitu pengendalian hayati inundatif dan inokulatif, yang digunakan bersama-sama untuk meningkatkan populasi agen pengendali hayati di lapangan. Pengendalian hayati inundatif melibatkan pelepasan besar-besaran agen hayati dalam jumlah tinggi untuk memberikan efek pengendalian langsung dan cepat terhadap hama. Sementara itu, pengendalian hayati inokulatif melibatkan pelepasan agen hayati dalam jumlah kecil namun bertahap, sehingga mereka dapat berkembang biak dan memberikan pengendalian jangka panjang. Ketika kedua strategi ini digunakan bersamaan, mereka meningkatkan efektivitas pengendalian hayati secara keseluruhan, sehingga disebut sebagai pengendalian hayati augmentatif karena tujuannya adalah untuk menambah populasi agen pengendali hingga mencapai tingkat yang optimal untuk mengendalikan hama secara efektif.
HapusSaya ijin menjawab
BalasHapuskarena keduanya dilakukan dengan melepas musuh alami secara sengaja dengan harapan agar populasi musuh alami bertambah, baik ketika musuh alami belum ada maupun sudah ada secara alami, agar musuh alami yang belum ada menjadi ada dan yang sudah ada populasinya bertambah agar dapat menekan populasi OPT sasaran secara efektif.
Saya ijin bertanya :
BalasHapusDalam kondisi seperti apakah pengendalian hayati augmentatif diperlukan ? Terima kasih
izin menjawab Pengendalian hayati yang bersifat augmentatif diperlukan ketika musuh alami tidak ada, ketika populasi musuh alami terlambat dalam mengurangi populasi target OPT untuk mencegah kerusakan, atau ketika musuh alami yang sudah ada secara alami memiliki populasi yang terlalu rendah untuk mampu menekan target OPT secara efektif.
HapusApa dampak dari hilangnya satu spesies musuh alami terhadap ekosistem pertanian secara keseluruhan?
BalasHapusHilangnya satu spesies musuh alami dapat menyebabkan peningkatan populasi hama yang sebelumnya dikendalikan, mengarah pada kerusakan tanaman dan penurunan hasil panen. Ketidakseimbangan ini juga dapat mempengaruhi spesies musuh alami lainnya, mengurangi efektivitas pengendalian hama. Selain itu, hilangnya spesies tersebut dapat merusak keanekaragaman hayati dan interaksi ekologis, serta meningkatkan ketergantungan pada pestisida, yang dapat berdampak negatif pada lingkungan. Secara keseluruhan, hilangnya satu spesies musuh alami dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pertanian secara signifikan.
HapusApa yang dimaksud dengan efek tirai (cascade effect) dalam konteks interaksi antara musuh alami dan faktor lingkungan hayati?
BalasHapusEfek tirai (cascade effect) dalam konteks interaksi antara musuh alami dan faktor lingkungan hayati mengacu pada perubahan yang terjadi secara berjenjang pada suatu ekosistem akibat interaksi antarorganisme, terutama yang melibatkan predator (musuh alami) dan mangsa, serta faktor-faktor lingkungan hayati seperti vegetasi, sumber daya makanan, atau persaingan antarspesies. Dalam, efek ekologi ini sering dimulai ketika terjadi perubahan pada populasi satu organisme, misalnya pengurangan jumlah predator. Hal ini dapat mempengaruhi gambaran atau perilaku mangsa, yang kemudian mempengaruhi spesies lain yang berinteraksi dengan mangsa tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung
HapusApa perbedaan utama antara sistem klasifikasi konvensional dan sistem klasifikasi modern dalam pengelompokan organisme?
BalasHapusPerbedaan utama antara sistem klasifikasi konvensional dan sistem klasifikasi modern dalam pengelompokan organisme terletak pada dasar yang digunakan untuk pengelompokan, serta pendekatan yang digunakan.
Hapus1. Dasar Pengelompokan:
- Klasifikasi Konvensional (Klasifikasi Linnaeus): Sistem ini dikembangkan oleh Carolus Linnaeus pada abad ke-18 dan didasarkan terutama pada morfologi (ciri-ciri fisik) dan struktur tubuh organisme. Organisme dikelompokkan berdasarkan persamaan penampilan luar dan organ utama.
- Klasifikasi Modern (Filogenetik atau Cladistik): Sistem modern menggunakan hubungan evolusi dan genetik untuk mengelompokkan organisme. Data molekuler seperti DNA, RNA, dan protein, serta bukti fosil dan hubungan genetik, menjadi dasar utama klasifikasi.
2. Pendekatan:
- Klasifikasi Konvensional : Bersifat statis dan sering kali subjektif, karena pengelompokan berdasarkan karakteristik morfologi saja bisa menimbulkan kebingungan (misalnya, hewan yang mirip dalam bentuk fisik bisa jadi tidak berkerabat secara evolusi).
- Klasifikasi Modern: Bersifat dinamis dan lebih objektif, karena menggunakan bukti ilmiah berbasis molekuler dan evolusi. Sistem ini menggambarkan pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara organisme berdasarkan nenek moyang bersama.
3. Pengelompokan Kingdom:
- Klasifikasi Konvensional: Awalnya menggunakan dua kingdom, yaitu Plantae dan Animalia.
- Klasifikasi Modern: Kini dikenal dengan sistem lima atau bahkan enam kingdom, seperti Monera (bakteri), Protista, Fungi, Plantae, dan Animalia, yang kemudian bisa dibagi lagi menjadi domain seperti Archaea, Bacteria, dan Eukarya berdasarkan perbedaan genetik yang lebih detail.
4. Teknologi:
- Klasifikasi Konvensional: Terbatas pada pengamatan fisik atau morfologi yang bisa dilakukan dengan alat sederhana seperti mikroskop.
- Klasifikasi Modern: Memanfaatkan teknologi canggih seperti sekuensing DNA dan bioinformatika untuk menganalisis hubungan evolusi antar organisme dengan presisi yang lebih tinggi.
Perbedaan utama terletak pada cara pengelompokan dan pertimbangan terhadap hubungan kekerabatan antar organisme. Sistem klasifikasi modern menawarkan pendekatan yang lebih terintegrasi dan akurat dibandingkan dengan sistem konvensional.
Hapus
BalasHapusBagaimana keanekaragaman hayati dan interaksi antar organisme mempengaruhi efektivitas strategi pengendalian hayati dalam menjaga keseimbangan ekosistem?
Keanekaragaman hayati dan interaksi antar organisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas strategi pengendalian hayati dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Pertama, keragaman spesies dalam ekosistem menyediakan berbagai musuh alami yang dapat mengendalikan populasi Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Ketika satu spesies musuh alami tidak berhasil mengatasi populasi OPT, keberadaan spesies lain yang lebih efektif dapat berperan sebagai alternatif.
HapusSelain itu, interaksi trophic yang terjadi dalam rantai makanan, seperti predasi dan parasitisme, menciptakan dinamika kompleks yang membantu mengatur populasi. Musuh alami yang mampu beradaptasi dengan berbagai spesies mangsa akan lebih efektif dalam mengendalikan OPT. Ekosistem yang memiliki keanekaragaman tinggi juga cenderung lebih stabil, sehingga dapat lebih responsif terhadap fluktuasi populasi OPT yang mungkin terjadi.
Keanekaragaman hayati juga mencakup variasi spesies tanaman yang menyediakan habitat dan sumber makanan bagi musuh alami. Hal ini secara langsung meningkatkan efisiensi mereka dalam mengendalikan OPT. Selain itu, populasi yang beragam memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga mengurangi tekanan pada mekanisme pengendalian hayati yang diterapkan.
Secara keseluruhan, keanekaragaman hayati dan interaksi antar organisme membentuk jaringan ekologi yang mendukung keberhasilan strategi pengendalian hayati. Dengan memanfaatkan keanekaragaman dan interaksi ini, pengendalian hayati menjadi lebih efektif dan berkelanjutan, menjaga keseimbangan ekosistem dalam jangka panjang.
Bagaimana cara kerja interaksi kompetisi antar organisme, dan faktor apa saja yang mempengaruhi intensitas kompetisi di lingkungan alami?
BalasHapusCara Kerja Kompetisi
HapusEksploitasi Sumber Daya: Organisme yang lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya tertentu akan mendapatkan keuntungan. Misalnya, tumbuhan yang lebih cepat menyerap air dan nutrisi dari tanah akan tumbuh lebih baik, sementara tumbuhan lain yang tidak dapat bersaing mungkin mati.
Interferensi: Organisme secara langsung berinteraksi untuk menghalangi satu sama lain dalam mendapatkan sumber daya. Misalnya, hewan teritorial yang berusaha menjaga wilayahnya agar tidak dimasuki pesaing.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Kompetisi:
Ketersediaan Sumber Daya: Semakin langka sumber daya, semakin besar kemungkinan terjadinya kompetisi. Pada saat sumber daya melimpah, kompetisi cenderung berkurang.
Kepadatan Populasi: Kompetisi akan lebih intens di lingkungan dengan populasi organisme yang padat, baik antar spesies maupun dalam spesies yang sama.
Niche Ekologis: Semakin mirip kebutuhan ekologis (niche) dari dua spesies, semakin besar kemungkinan mereka akan bersaing. Jika dua spesies memiliki niche yang sangat berbeda, mereka mungkin bisa menghindari kompetisi.
Kemampuan Adaptasi: Organisme yang lebih baik beradaptasi terhadap lingkungan atau yang memiliki strategi lebih efisien dalam menggunakan sumber daya akan lebih kompetitif.
Perubahan Lingkungan: Perubahan kondisi lingkungan, seperti iklim atau gangguan habitat (misalnya kebakaran atau deforestasi), dapat mengubah intensitas dan dinamika kompetisi antar organisme.
Gangguan Eksternal: Aktivitas manusia, seperti pertanian, urbanisasi, dan perburuan, dapat mengubah ketersediaan sumber daya dan menambah atau mengurangi tekanan kompetitif di suatu ekosistem.
Mengapa interaksi tidak langsung dapat mempengaruhi lebih dari satu taraf trofik dalam suatu ekosistem?
BalasHapusInteraksi tidak langsung dapat mempengaruhi lebih dari satu taraf trofik karena adanya hubungan kompleks antara spesies dalam rantai makanan. Perubahan pada satu spesies, seperti predator atau herbivora, dapat memicu efek berantai yang mempengaruhi spesies lain di berbagai tingkat trofik, baik melalui kompetisi, perubahan populasi, maupun hubungan ekologi lainnya.
HapusBagaimana kompetisi antar spesies dapat mempengaruhi efektivitas pengendalian hayati?
BalasHapusKompetisi antar spesies dapat mempengaruhi efektivitas pengendalian hayati dengan beberapa cara:
HapusKompetisi Sumber Daya: Jika predator atau agen pengendali hayati yang diperkenalkan bersaing dengan spesies lokal untuk sumber daya seperti makanan dan ruang, efektivitas mereka dalam mengendalikan hama dapat berkurang.
Pengaruh pada Populasi: Spesies yang saling bersaing dapat mempengaruhi dinamika populasi satu sama lain. Jika agen pengendali hayati tidak dapat beradaptasi dengan baik atau jika populasi mereka tertekan oleh kompetitor, mereka mungkin tidak dapat mengendalikan populasi hama secara efektif.
Interaksi Jaring Makanan: Kompetisi dapat mengubah hubungan dalam jaring makanan. Misalnya, jika spesies kompetitor meningkatkan populasi mereka, mereka mungkin mengurangi jumlah predator hama, sehingga mengurangi efektivitas pengendalian hayati.
Adaptasi dan Evolusi: Spesies yang bersaing dapat memicu adaptasi yang mengubah cara spesies tersebut berinteraksi, yang dapat mengubah efektivitas pengendalian hayati seiring waktu
Bagaimana interaksi antagonis antar spesies, seperti kompetisi atau predasi, dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hayati?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusInteraksi Antagonis dalam Pengendalian Hayati
HapusInteraksi antagonis seperti kompetisi, predasi, antibiosis, dan mikoparasitisme dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hayati sebagai berikut:
Kompetisi
- Trichoderma mengkompetisi dengan patogen seperti Ganoderma, merebut sumber daya dan mengeluarkan senyawa anti-biotik.
Predasi
- Parasitoide seperti Aphidius ervii mempredatorikan kutu putih (Myzus persicae) dan predator seperti **ladybug memangsa aphids dan lepidoptera lainnya.
Antibiosis
- Trichoderma** mengeluarkan senyawa anti-botik untuk menghambat pertumbuhan fungi patogen seperti **Ganoderma pilippii**.
Mikoparasitisme
- Trichoderma reesei memparasitisikan fungi patogen seperti Ganoderma pilippii dengan hyper-parasitisme.
Interaksi antagonis ini membantu mengendalikan populasi patogen dan OPT secara efektif dan ramah lingkungan.
Apa dasar-dasar ekologis dalam pengendalian hayati?
BalasHapusPengendalian hayati didasarkan pada keanekaragaman hayati yang menciptakan keseimbangan ekosistem, interaksi antar organisme seperti predator, parasitoid, dan patogen, serta strategi yang memanfaatkan organisme alami untuk mengendalikan hama secara berkelanjutan tanpa bahan kimia.
HapusPengendalian hayati (biological control) adalah metode yang menggunakan organisme hidup untuk mengendalikan populasi hama atau penyakit tanaman. Dasar-dasar ekologis dalam pengendalian hayati meliputi:
Hapus1. **Interaksi Spesies**: Memahami hubungan antara predator, parasit, dan hama. Ini termasuk predator alami, parasitoid, dan mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama.
2. **Keanekaragaman Hayati**: Menggunakan keanekaragaman spesies untuk meningkatkan ketahanan ekosistem. Keanekaragaman yang tinggi dapat memperkuat interaksi alami yang mengontrol hama.
3. **Rantai Makanan**: Mempertimbangkan posisi organisme dalam rantai makanan, di mana predator dan parasitoid dapat berperan dalam mengendalikan hama.
4. **Adaptasi dan Evolusi**: Memahami bagaimana hama dan pengendali alami mereka beradaptasi dan berevolusi. Ini penting untuk memastikan pengendalian hayati tetap efektif dalam jangka panjang.
5. **Dinamika Populasi**: Mempelajari fluktuasi populasi hama dan pengendali mereka. Model matematis sering digunakan untuk memprediksi interaksi ini.
6. **Pengaruh Lingkungan**: Memperhatikan faktor lingkungan seperti iklim, habitat, dan intervensi manusia yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengendalian hayati.
7. **Prinsip Keseimbangan Ekologis**: Menjaga keseimbangan ekosistem agar tidak terjadi dampak negatif, seperti overekspansi pengendali yang dapat menjadi hama baru.
Dengan memahami aspek-aspek ini, pengendalian hayati dapat diimplementasikan dengan lebih efektif dan berkelanjutan.
Apa saja faktor yang dapat mengancam keanekaragaman hayati di suatu daerah?
BalasHapus